Ketua Pusat Kajian Ekonomi dan Kebijakan Kesehatan (PKEKK) Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia Prof Budi Hidayat mengatakan Indonesia saat ini lebih dalam kondisi darurat rokok daripada darurat narkoba.

"Pemerintah secara tidak langsung memberikan surga bagi para perokok dan industri rokok. Ilustrasinya, rokok bisa dibeli secara batangan dan harganya sangat murah dan bisa dijangkau," kata Budi dalam "Editor Meeting" yang diadakan Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Jakarta di Jakarta, Kamis (26/10/2017).

Budi mengatakan fakta bahwa harga rokok di Indonesia sangat murah baru akan dirasakan oleh seorang perokok saat sedang berada di luar negeri dan ingin membeli rokok.

Surga berupa harga rokok yang murah di Indonesia menjadi ironi ketika belanja untuk rokok pada rumah tangga termiskin justru mengalahkan pembelanjaan untuk kebutuhan yang lebih penting seperti pemenuhan gizi dan pendidikan anak.

"Karena itu, konsumsi rokok harus dikendalikan melalui cukai yang tinggi. Contoh praktik terbaik di berbagai negara adalah mengendalikan konsumsi rokok dari sisi permintaan melalui penerapan cukai yang tinggi," tuturnya.

Budi mengatakan bila harga rokok di pasaran lebih tinggi daripada daya beli masyarakat, maka para perokok akan mulai mengurangi merokok dan yang bukan perokok akan berpikir beberapa kali sebelum memutuskan untuk membeli rokok.

"Lalu berapa harga yang ideal untuk rokok? Berapa pun harganya, yang penting harus bisa mengendalikan konsumsi rokok. Penelitian-penelitian sebelumnya menyebutkan seseorang baru akan berpikir untuk berhenti merokok saat harganya mencapai Rp50 ribu," katanya.

Di tempat yang sama, Program Officer Yayasan Lentera Anak Iman Mahaputra Zein mendesak pemerintah untuk menjauhkan rokok dari anak-anak dengan menaikkan harga rokok setinggi-tingginya.

"Salah satu cara untuk menaikkan harga rokok adalah dengan kebijakan cukai. Cukai tembakau harus dinaikkan setinggi-tingginya," kata Iman.

Iman mengatakan Undang-Undang 39 Tahun 2007 tentang Cukai menyebutkan cukai dikenakan pada barang-barang yang konsumsinya perlu dikendalikan, pengawasannya perlu diawasi dan pemakaiannya menimbulkan dampak negatif.

"Jadi filosofi cukai adalah pengendalian, bukan sebagai target penerimaan negara. Justru semakin tinggi penerimaan dari cukai, berarti negara gagal mengendalikan konsumsi tembakau," tuturnya.

Selain menaikkan harga melalui kebijakan cukai, Iman juga mendesak pemerintah melarang penjualan rokok secara batangan serta melarang segala bentuk iklan, promosi dan sponsor rokok yang selama ini sangat jelas menyasar anak-anak sebagai calon perokok baru.

Pemerintah juga perlu melarang penjualan kemasan rokok kurang dari 20 batang. Menurut Iman, kebanyakan rokok dijual dengan kemasan 12 batang hingga 16 batang sehingga harganya relatif murah dan masih bisa dijangkau anak-anak.

Menurut survei yang dilakukan Yayasan Lentera Anak bekerja sama dengan Forum Anak di 10 kota, semakin banyak iklan rokok dengan menampilkan harga yang murah. Dari 1.379 spanduk, "billboard", umbul-umbul, poster, stiker, videotron dan bentuk lain reklame luar ruang yang mengiklankan produk rokok, sebanyak 80,2 persen mencantumkan harga.

Di sisi lain, Ketua Pengurus Harian Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) Tulus Abadi mengatakan, petani tidak akan terdampak oleh kenaikan cukai tembakau, apalagi pemerintah merencanakan kenaikan pada 2018 hanya rata-rata 10,04 persen.

"Musuh petani tembakau yang sebenarnya justru adalah perilaku industri rokok yang seenaknya menentukan kualitas dan harga daun tembakau milik petani," kata Tulus melalui pesan singkat.

Karena itu, imbauan Presiden Joko Widodo agar petani tembakau beralih tanam ke tanaman lain agar tidak terdampak kenaikan cukai yang direncanakan pemerintah tidak relevan. Petani tembakau memang seharusnya beralih tanam agar tidak terus menerus dikelabui industri rokok.

Selama ini, posisi tawar petani terhadap harga daun tembakau memang cukup lemah karena kualitas dan harga ditentukan oleh "grader" tanpa ukuran yang jelas. Keberadaan "grader" itu lebih menguntungkan industri rokok dan merugikan petani.

"Apalagi, sesuai Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2007 tentang Cukai, filosofi cukai adalah instrumen untuk mengendalikan konsumsi. Jadi seharusnya landasan rencana kenaikan cukai hanya untuk mengendalikan konsumsi," tuturnya.

Tulus sendiri menilai rencana kenaikan cukai tembakau rata-rata 10,04 persen merupakan langkah mundur karena tahun sebelumnya kenaikannya mencapai 11,19 persen. "Kenaikan cukai tembakau seharusnya progresif sehingga bisa mencapai angka yang diamanatkan Undang-Undang Cukai, yaitu 57 persen," katanya.

Pemerintah akan menaikkan cukai tembakau rata-rata 10,04 persen yang berlaku pada 1 Januari 2018. Keputusan menaikkan cukai tembakau itu ditetapkan dalam rapat internal yang dipimpin Presiden Joko Widodo di Istana Kepresidenan, Kamis (19/10).

Menurut laporan Bank Dunia yang berjudul "Reformasi Pajak Tembakau: Persimpangan Jalan antara Kesehatan dan Pembangunan", Menteri Keuangan sebuah negara bisa menyelamatkan lebih banyak jiwa dari pada Menteri Kesehatan dengan menaikkan cukai rokok.

Sumber: inhilklik.com