Tajuk "Indonesia Juara Merokok" (Republika, 28/5) cukup menarik diulas lebih dalam. Bukan saja ironi, jumlah perokok yang besar dan terus bertambah memiliki implikasi luas dalam pembangunan kualitas SDM yang bermutu. Ini terkait misalokasi belanja rumah tangga yang tidak memperhitungkan prioritas dan urgensinya. Kagetkah kita dengan predikat Indonesia juara pertama jumlah perokok, mengalahkan Rusia, Cina, Filipina, dan Vietnam? Tidak. "Prestasi" ini sejatinya tidak terlalu mengagetkan.


Sebanyak 240 miliar (4,1 persen) dari 5,8 triliun batang konsumsi rokok dunia pada 2014 berasal dari Indonesia. Angka ini menempatkan Indonesia sebagai negara konsumen rokok terbesar keempat dunia setelah Cina (2,57 triliun batang), Rusia (321 miliar batang), dan Amerika Serikat (281 miliar batang). Menyadari sejumlah sisi negatif rokok, pelbagai peraturan dan undang-undang dibuat untuk menekan konsumsi rokok di dalam negeri. Bukannya menurun, konsumsi rokok di Indonesia bertahan pada posisi tinggi.

Terakhir, 14 Juni 2014, Peraturan Pemerintah No 109/2012 tentang Pengamanan Bahan yang Mengandung Zat Adiktif Berupa Produk Tembakai Bagi Kesehatan berlaku. Lewat aturan ini, produsen/pengimpor produk tembakau atau rokok harus mencantumkan peringatan kesehatan dalam bentuk gambar dan tulisan. Sejak itu, di kemasan rokok tidak hanya ada peringatan kesehatan dalam bentuk tulisan seperti berlaku selama ini, tapi juga gambar-gambar seram. Ada gambar kanker mulut, paru-paru menghitam, dan tengkorak.

Aturan ini diberlakukan selain untuk menginformasikan dampak buruk rokok bagi kesehatan juga untuk membatasi dampak buruk rokok, terutama bagi remaja dan anak-anak serta keluarga miskin. Terkait warga miskin, ada temuan menarik dalam konsumsi rokok. Data Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) oleh Badan Pusat Statistik dalam beberapa tahun terakhir menangkap betapa tingginya pola pengeluaran rokok, baik filter maupun kretek, warga miskin. Pendapatan warga miskin tidak hanya tersedot untuk pengeluaran pangan, seperti membeli beras, tetapi juga dibakar dalam bentuk asap rokok.

Kontribusi pengeluaran untuk konsumsi rokok cukup besar dalam perhitungan garis kemiskinan. Garis kemiskinan adalah batas rupiah minimum yang harus dikeluarkan setiap orang dalam sebulan agar tidak terkategori miskin. Penduduk dengan pengeluaran per kapita per bulan lebih kecil dari garis kemiskinan akan masuk kategori miskin. Misalnya, September 2013, meurut BPS kontribusi rokok terhadap garis kemiskinan menduduki posisi kedua, baik di perkotaan maupun perdesaan. Rokok kalah dari beras.

Empat komoditas yang memiliki sumbangan besar terhadap garis kemiskinan di perdesaan adalah beras (32,72 persen), rokok (8,31 persen), telur ayam ras (3,54 persen), dan gula pasir (2,73 persen). Sedangkan, di perkotaan; beras (24,81 persen), rokok (10,08 persen), telur ayam ras (3,63 persen), dan gula pasir (2,58 persen). Pada September 2013 garis kemiskinan di perkotaan sebesar Rp 308.826. Artinya, penduduk miskin di perkotaan membelanjakan Rp 34 ribu untuk membeli rokok dalam sebulan. Ini cukup besar untuk dialihkan buat biaya pendidikan atau kesehatan ketimbang dibakar menjadi asap. Data-rata terbaru BPS tidak banyak berubah.

Hasil Survei Riset Kesehatan Dasar 2013 yang dirilis Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan, Kementerian Kesehatan, juga membuahkan temuan serupa: Konsumsi rokok penduduk kelas menengah bawah dan terbawah rata-rata mencapai 12 batang per hari atau sekitar 360 batang dalam sebulan. Apabila harga sebatang rokok Rp 500 berarti uang yang dibelanjakan penduduk kelas menengah bawah dan terbawah untuk membeli rokok mencapai Rp180 ribu sebulan atau 58 persen dari garis kemiskinan.

Hasil Riskesdas 2013 juga menunjukkan, konsumsi rokok pada anak-anak (kelompok usia 10-14 tahun) sangat tinggi. Konsumsi rokok pada kelompok usia ini mencapai sekitar delapan batang per hari atau 240 batang sebulan. Itu berarti dalam sebulan anak-anak perokok menghabiskan uang sebesar Rp120 ribu hanya untuk membakar rokok. Ironisnya, perokok pemula (usia 10-14 tahun) naik dua kali lipat dalam 10 tahun terakhir, dari 5,9 persen pada 2001 menjadi 17,5 persen pada 2010. Pada periode yang sama, perokok pemula usia 15-19 tahun menurun dari 58,9 persen  menjadi 43,3 persen. Data ini menunjukkan adanya pergeseran perokok pemula ke kelompok usia yang lebih muda.

Peningkatan prevalensi konsumsi rokok memberikan implikasi terhadap kondisi kesehatan dan ekonomi, baik makro maupun mikro. Pada skala mikro, pengeluaran rokok dan tembakau mengalahkan pengeluaran untuk kebutuhan dasar lain, seperti daging, ikan, biaya pendidikan, dan biaya kesehatan. Kurangnya alokasi pengeluaran untuk kebutuhan gizi menjadi salah satu penyebab tingginya malanutrisi. Tiap tahun, malanutrisi menyumbang sekitar 40 persen dari 11 juta kematian balita di negara-negara berkembang (WHO, 2010).

Hasil Riskesdas 2013 mengungkap potret buram dunia pergizian di negeri ini: Prevalensi gizi buruk meningkat menjadi 5,7 persen dari 4,9 persen pada 2010. Adapun prevalensi gizi kurang naik dari 13 persen pada 2010 menjadi 13,9 persen pada 2013. Anak stunting (bertubuh pendek) juga meningkat jadi 37,2 persen (2013) dari sebelumnya 35,6 persen (2010). Kekurangan gizi pada anak berakibat permanen pada fisik dan kecerdasan. Ini seperti lingkaran setan. Karena miskin, asupan gizi kurang. Tak hanya pertumbuhan terganggu, IQ pun jongkok. Outputnya, produktivitas rendah, sakit-sakitan dan terjerat dalam kubangan kemiskinan.

Bagi warga miskin, merokok merupakan pemborosan. Selama ini, guna memenuhi kebutuhan pangan mereka biasanya merealokasi keranjang pengeluaran. Pertama, dana pendidikan dan kesehatan dipangkas, lalu dialihkan ke pangan. Ini terjadi karena 60-80 persen pengeluaran keluarga miskin tersedot untuk pangan. Atau, kedua, jumlah dan frekuensi makan dikurangi. Jenis pangan inferior (murah dengan kandungan energi-protein rendah) menjadi pilihan. Dampaknya, konsumsi energi dan protein menurun. Bagi orang dewasa, ini berpengaruh pada produktivitas kerja dan kesehatan. Buat ibu hamil/menyusui dan anak balita ini berdampak buruk pada perkembangan kecerdasan anak. Dampaknya luas.

Pemerintah masih harus bekerja lebih keras lagi untuk menyadarkan warga miskin dan anak-anak akan dampak buruk rokok bagi diri sendiri, keluarga, dan lingkungan. Pelbagai peraturan pembatasan rokok perlu dibarengi langkah-langkah simultan. Counter kampanye dampak buruk merokok, terutama pada remaja, bisa dilakukan masif lewat kurikulum di sekolah dan iklan di berbagai media. Pendidikan dan pemahaman perlunya alokasi pengeluaran untuk kebutuhan dasar dan prioritas penting perlu diintensifkan di segala lini. Pada saat yang sama, penegakan aturan yang sudah ada, seperti kawasan bebas rokok, tak bisa ditawar-tawar. Tanpa itu, rokok yang dibakar akan semakin banyak.

Khudori
Pegiat Asosiasi Ekonomi Politik Indonesia (AEPI), Anggota Pokja Ahli Dewan Ketahanan Pangan Pusat

Sumber