BANDAR LAMPUNG (Lampost.co)--Menjadi perokok pasif memang tak ada enaknya. Inayati Sofiah mengisahkan pengalamannya mengenai bahaya perokok pasif. Ibunya, Mardiah (62 tahun) meninggal pada 13 Juli 2017 lalu, karena indikasi paparan asap rokok atau perokok pasif. Mardiah yang telah 20 tahun lebih berjualan di salah satu pasar becek di Bandar Lampung itu membuka warung kopi dan melayani pelanggan kopi yang kerap merokok. Begitu pula dengan pedagang sekitarnya yang aktif merokok, membuat asap rokok terhirup oleh sang ibu. “Karena daya tahan tubuh ibu yang tidak kuat, ada benjolan di leher, awalnya tidak sakit, tapi suara ibu sering serak,” ujar Inayah, 23 Januari lalu di Bandar Lampung.
Asap rokok diketahui memiliki asap dan debu yang kelamaan bakal dikomulasikan dalam jumlah banyak, hingga terbentuk endapan di paru ibunya. Begitu menurut penjelasan dokter untuk Inayah.
Saat ini Inayah meneruskan usaha ibunya sebagai pedagang kopi bubuk. Sarjanan lulusan Keguruan Ilmu Pendidikan ini konsen meminta pelangganya mematikan rokok saat akan membeli kopi seduh cap intan, warisan orangtuanya.
Di Pasar Pasir Gintung, Bandar Lampung, Ia menghabiskan separuh harinya untuk berdagang, sama seperti ibunya dulu. “Gara-gara rokok mematikan orang yang gue sayang, saya penerus generasi ibu (berjualan kopi), saat orang beli kopi di warung sambil merokok saya tegur baik-baik, karena inget masa lalu,” ujar Inayah.
Inayah mengenang, bagaimana perjuangan ibu untuk melawan sakit kanker. Kanker paru yang telah memasuki stadium 4 itu harus dilalui ibunya dengan tegar. Ibunya membutuhkan oksigen buatan karena kanker yang membesar mengganggu pernafasan. “Ada sel kanker 2,7 cm di paru ibu seperti kelereng,” ujarnya.
Ibunya pula telah menjalani kemoterapi. Sebagai ikhtiar pengobatan lain, ibunya pula menjalani pengobatan alternatif lewat ramuan herbal. Tiga kali menjalani kemoterapi, tubuh ibunya tidak kuat alias drop. Kanker diketahui telah menjalar ke lemak, daging, dan tulang. “Selama pengobatan tubuh ibu gak kuat hadapi obat kimia,” ucapnya. Ia pun kini ingin menyebarkan informasai tentang bahaya rokok pasif melalui kegiatan komunitas Generasi tanpa rokok (Getar) Lampung yang baru dibentuk awal Januari 2018.
“Awalnya ada benjolan dan ibu susah nafas, ibu Cuma bilang sesak aja, kanker dekat paru menyempitkan pembuluh darah, sehingga ibu membutuhkan oksigen tambahan, sehari bisa habis 3 tabung selama 3 bulan,” tuturnya.
Warung di jalan Manggis perempatan empang gardu petir, Pasar Pasir Gintung, Bandar Lampung ini menjadi saksi hidupnya. Sejak tahun 1995 warung kopi bubuk itu beroperasi. Lewat tetesan keringat ibunya, Inayah dibesarkan melalui hasil usaha warung bubuk kopi itu.
Ibunya selalu bersahabat dengan paparan asap rokok dari penjual sebelah warung maupun tukang ojek diamping warung. Inayah sadar, paparan asap rokok membuatnya kehilangan nyawa orangtua. Ia kini sering menggunakan masker saat akan berpergian untuk menghindari asap rokok. Ia merinci obat alami penangkal kanker seperti olahan tinta hitam cumi, bawang putih panggan, ikan tongkol, kunyit putih sampai daun sirsak.
Berdasarakan riskesdas 2013 Kementerian Kesehatan, prevalensi penyakit PPOK mencapai 1,4% (hasil wawancara umur >30 tahun berdasarkan gejala). Bila dikalkulasikan, Propinsi Lampung yang berkisar 8 juta penduduk , menyebabkan BPJS Kesehatan harus mengcover 112.000 penduduk dari penderita PPOK.
PPOK diketahui sebagai penyakit kronis saluran napas yang ditandai dengan hambatan aliran udara khususnya udara ekspirasi dan bersifat progresif lambat (semakin lama semakin memburuk), disebabkan oleh pajanan faktor risiko seperti merokok, polusi udara di dalam maupun di luar ruangan.
Onset (awal terjadinya penyakit) biasanya pada usia pertengahan dan tidak hilang dengan pengobatan. Didefinisikan sebagai PPOK jika pernah mengalami sesak napas yang bertambah ketika beraktifitas dan/atau bertambah dengan meningkatnya usia disertai batuk berdahak atau pernah mengalami sesak napas disertai batuk berdahak dan nilai Indeks Brinkman ?200. Indeks Brinkman merupakan jumlah batang rokok yang diisap, dihitung sebagai lama merokok (dalam tahun) dikalikan dengan jumlah rokok yang diisap per hari. Hasil yang didapat melalui kuesioner akan lebih rendah dibanding pemeriksaan spirometri karena PPOK baru ada keluhan bila fungsi paru sudah menurun banyak.
Sumber: lampost.co